Cerpen keluarga tak mampu yang berjudul kubuang rasa malu demi anakku adalah cerita tentang keluarga miskin yang anaknya ingin sekolah tapi tak mampu membayar uang pendaftaran lebih jelasnya cerita keluarga yang kurang mampu tersebut disimak saja cerpen pendek atau cerita mini dengan judul kubuang rasa malu demi anak dibawah Rasa Malu Demi Anak Author Reski PurnamaWajahnya terlihat murung, setelah tahu bahwa aku tidak punya uang sebanyak itu. Pulang dari ladang, dia memberi kabar bahwa dia diterima di sekolah yang dia inginkan."Pah, aku diterima. Senin depan harus mendaftar ulang.""Berapa uang pendaftarannya, Nak?""Satu juta tiga ratus tujuh puluh lima.""Hmm, iya akan apah usahakan."Nominal yang anakku sebutkan itu tentu saja tidak ada. Kerja sebulan pun aku belum tentu bisa memegang uang sebanyak aku ayah yang tidak sempurna. Tetap miskin walaupun kerja siang aku pungkiri jika selalu menunggak bayar uang sekolah mereka.'Nak, maafkan papah.'**Usai makan malam. Anakku kembali menanyakan hal itu. Maklum waktu pendaftaran pun dibatasi pihak sekolah, lewat batas akhir berarti dianggap hangus."Pah, gimana? Atau aku sekolah di SMA saja? Kalau di SMA biaya masuknya cuman lima ratus ribu."Aku menelan ludah yang hampir kering. Jangankan lima ratus, bahkan dompet ini tak berpenghuni sedikitpun."Sabar ya, Nak. Pokoknya akan apah usahakan.""Hmm, baiklah."**"Abang punya uang? Mau minjam kemana lagi? Udahlah, aku lebih baik dia berhenti sekolah dari pada anak tua kita." Istriku berucap tanpa berpikir lebih sengaja, ternyata anakku itu mendengarnya, aku lihat dia menangis tertahan. Aku mengerti pasti hatinya terluka."Kamu jangan bicara begitulah, Ma. Bagiku anak-anakku akan tetap aku sekolahkan bagaimana pun caranya.""Ya terserah, Abang."Hari-hari mulai berlalu, aku lihat dia berusaha tegar, semakin membuatku merasa bersalah. Dia masih beraktifitas seperti biasa, hanya sering terlihat kali teman-temannya datang karena dia belum juga mendaftar ulang. Dia hanya menjawab dengan senyum yang menuruti semua keinginan ibunya. Bahkan tidak mengapa ikut berendam di air yang keruh walaupun lisan ibunya sudah menyayat harinya aku berpikir keras. Mungkin ada jalan keluar yang lain. Hingga akhirnya aku putuskan untuk mengemis ke pihak harinya, sebelum mulainya masa orientasi siswa-siswi baru. Aku dan dia berangkat ke sekolah menemui kepala yang bersangkutan."Pak, apakah boleh anak saya sekolah dulu, uang pendaftaran belakangan."Waka siswa itu tercenung sejenak. Aku tidak tahu pasti apa yang dia pikirkan. Apakah dia mencemoohku dalam hatinya, ntahlah."Saya tidak bisa memutuskan, Pak. Mungkin lebih baik bapak datang ke sekolah besok."Aku mengangguk, kami pun pamit pulang. Ke esokan paginya aku penuhi janji untuk datang langsung ke sekolah. Kulihat anakku sudah berkemas memakai baju putih abu-abu bekas kakaknya berangkat mengantongi uang seratus enam puluh sembilan ribu. Sesampainya di sekolah, aku masuk ke ruangan tata usaha. Di sana banyak guru dan kepala diminta bicara langsung dengan kepala sekolahnya. Tanpa malu aku memohon kepada kepala sekolah."Pak, tolonglah. Izinkan anak saya sekolah dulu. Uang pendaftarannya menyusul."Beberapa kali kepala sekolah itu menarik napas panjang dan membuangnya dengan kasar."Mana anak Bapak itu?"Aku bergegas memanggil anakku ke luar. Di dekat tiang, aku lihat dia menangis sambil kedua netranya terus memandang barisan teman-temannya yang sedang MOS."Nak, ayo masuk. Jangan menangis."Dia masuk setelah menghapus air matanya. Kepala sekolah langsung melontarkan beberapa pertanyaan."Benar kamu ingin sekolah di sini?""Iya, Pak.""Kenapa tidak di SMA? Di sini kan biayanya mahal.""Nggak, Pak. Pengen di sini, biar bisa kerja tamat dari sini.""Rangkingnya gimana?"Dengan sangat jujur anakku memeberi tahu seluruhnya. Mulai rangking SD sampai SMP."Kok bisa dapat rangking 14 pas SMP?""Banyak yang lebih pintar, Pak.""Masa mau kalah begitu saja? Pasti waktu itu malas ya.""Nggak, Pak.""Hmm, kamu boleh sekolah di sini. Asalkan kamu janji, Bapak mau lihat kamu jadi juara. Sanggup?""Iya, Pak. Inshaa Allah."Aku lega setelah mendengar ucapkan kepala sekolah. Akhirnya anakku bisa sekolah juga. Uang yang aku bawa seluruhnya aku berikan untuk membayar uang mengapa aku pulang jalan kaki, menempuh jarak 2,5 km. Semua demi anakku, karena itu adalah e l e s a i
Ceritasedih keluarga yang miskin (redup) Cerita sedih keluarga yang miskin adalah cerita pendek sedih tentang keluarga yang kehidupannya tidak beruntung ditulis dalam bentuk cerita mini (cermin). Dalam kisa tentang keluarga miskin yang dipublikasikan blog fiksi menceritakan tentang seorang ibu yang pergi mencari makan, namun setelah pulang ke rumah anaknya meninggal.Cerita sedih keluarga yang miskin adalah cerita pendek sedih tentang keluarga yang kehidupannya tidak beruntung ditulis dalam bentuk cerita mini cermin.Dalam kisa tentang keluarga miskin yang dipublikasikan blog fiksi menceritakan tentang seorang ibu yang pergi mencari makan, namun setelah pulang ke rumah anaknya lebih jelasnya cerita keluarga sedih disimak saja cermin berjudul redup, dibawah Redup Athor Azizah Zee"Bang, jaga adik ya. Emak mau keluar cari makanan dulu," kataku pada sulung seraya meraba dahi di mengangguk perlahan, seraya membetulkan letak selimut dengan datangnya gemuruh petir, aku segera beranjak dari gelungan selimut lusuh. Tak kuhiraukan titik air yang lantas turun berkejaran dengan kubangan air menjil^t kakiku di tiap jengkalnya. Tak ada sanak saudara yang sudi peduli. Sepertinya aku harus mencari segala tikungan jalan depan, tampak beberapa gerobak makanan berjajar. Betapa perutku perih."Bang, apakah saya boleh mencuci piring di sini? Saya sangat membutuhkan makanan untuk anak di rumah yang sedang sakit."Aku mendatangi gerobak nasi goreng paling Abang memandangiku dari atas hingga bawah."Tidak ada piring kotor, Neng. Maaf, ya," mendatangi gerobak kedua, jawaban yang kuterima sama. Gerobak ketiga, hingga gerobak terakhir. Mereka juga sedang menunggu pembeli sampai larut yang melekat di badan basah kuyup. Menggigil. Kuraba perut, makin perih dua jam berjalan, tak jua kutemui makanan. Baiknya aku pulang dulu menengok anak-anak. Aku khawatir bocor atap rumah semakin membuat mereka kedinginan, terlebih semenjak pagi hanya sepotong singkong masuk ke perut depan pintu rumah, kudengar suara tangisan yang menyayat. Suara tangisan siapa itu? Apakah karena sangat lapar, sampai mereka menangis seperti itu?Kubuka pintu perlahan, agar tidak membangunkan si bungsu yang sedang sakit. Aku terpaku mendapati si sulung si bungsu masih terpejam, sama seperti saat aku meninggalkan mereka. Ingin mendekat, entah mengapa aku takut. Sulung terus saja mengguncang tubuh adiknya. Aku Sudut, 13 Agustus 2021
r26dPKo.